13 April 2010
INTEGRASI SAWIT - TERNAK UNTUK SWASEMBADA DAGING SAPI
Integrasi Sawit - Ternak untuk Swasembada Daging Sapi
di Audit II, Cimanggu. Hasil samping kelapa sawit berupa bungkil inti, lumpur sawit kering, solid heavy phase kering. Lumpur sawit kering mengandung protein kasar 11,94%, metionin 0,14%, lisin 0,31%, lemak kasar 10-14%. Solid heavy phase kering protein kasarnya 9-11%, lisin 0,17%, energi metabolis hingga 3270 kkal/kg. Bungkil inti sawit proetinnya lebih tinggi, 14%. Namun untuk tdk semua nilai gizi tsb dapat segera dimanfaatkan ternak. Harus diolah dulu dan ada faktor-fakktor pembatas..Menurut Orator, bila potensi besar ini dimanfaatkan, akan bisa mengurangi jagung (yg sebagian masih diimpor) dan bungkil kedelai (semuanya diimpor). Semoga ada fihak yang menindak lanjuti ini.
Dibawah ini, saya copykan juga sebuah berita yang terkait (dari Yahoo.news).
Bila mau menyediakan jagung sebagai bahan pakan ternak pada areal tanaman sawit, itu juga memungkinkan pada tanaman sawit muda yang belum menghasilkan (TBM3). Saya pernah lihat di Pasaman Barat, banyak petani yang melakukannya. Konon, juga sebuah perusahaan swasta bersama Perg Tinggi setempat di Kalimantan Tengah menanam jagung manis diantara sawit. Pimpinan perusahaan tsb (Senior kita) sampai menyurat ke WaMentan (cc. KabadanLitbang) meminta agar pertanaman jagung manisnya dikunjungi waktu panen nanti..cuma tidak menjelaskan dalam suratnya, mereka menerapkan teknologi yang katanya 'one step further than' BadanLitbangtan.
We'll have to see.
Salam,
Firdaus Kasim
Pemerintah Alokasikan Rp27 Miliar Untuk Integrasi Sawit-Ternak
Antara - Kamis, 1 April
Pemerintah Alokasikan Rp27 Miliar Untuk Integrasi Sawit-Ternak
Jakarta (ANTARA) - Kementerian Pertanian pada 2010 akan mengalokasikan Rp27 miliar untuk program integrasi sawit dan ternak sebagai upaya memperkuat industri sapi potong nasional.
Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian, Achmad Mangga Barani, di Jakarta, Rabu, mengatakan, kebijakan tersebut merupakan salah satu bentuk kontribusi perkebunan untuk program swasembada daging sapi pada 2014.
"Perkebunan merupakan tumpuan untuk keberhasilan swasembada ini karena memiliki luasan areal yang tetap mencapai tujuh juta hektare," ujarnya.
Dikatakannya, lokasi pengembangan integrasi sawit dan ternak ini dilakukan di sejumlah daerah yakni Sumatra Selatan, Bengkulu. Jambi, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, dan Riau.
Mangga Barani mengatakan, satu hektare lahan sawit dapat diintegrasikan dengan dua ekor hingga tiga ekor sapi potong dan dalam 2 tahun ini sudah dilakukan proyek percontohan integrasi sawit dan ternak sapi potong.
Program integrasi sawit dengan ternak sapi, tambahnya, sejalan dengan program revitalisasi perkebunan sawit yang menargetkan luasan lahan 1,5 juta hektare pada 2011
Menurut dia, pihaknya telah melaksanakan program integrasi kebun sawit dengan ternak sapi yang dilakukan sejak 2009.
Source : Zainuri Hanif(tanggungrenteng'09)
30 Maret 2010
Akom, Inspirasi Petani Otodidak
Hasil panen gabah 12 ton-18 ton per hektar bagi Akom Kartim (45) awalnya terdengar mustahil.
Bertahun-tahun menekuni profesi petani padi, produksinya mentok 6 ton per hektar. Namun, rasa penasarannya terjawab setelah mencoba pola budidaya system of rice intensification atau SRI.
Bertahun-tahun menekuni profesi petani padi, produksinya mentok 6 ton per hektar. Namun, rasa penasarannya terjawab setelah mencoba pola budidaya system of rice intensification atau SRI.
Sejak pertama kali menguji coba SRI, pada musim gadu tahun 2006, Akom langsung mendapat ”jawaban”. Ganjalan hatinya sedikit bergeser ketika mendapati hasil panen yang tak terduga jumlahnya. Dari lahan uji coba seluas 1.000 meter persegi, Akom memanen 1,2 ton gabah kering panen (GKP). Itu berarti 12 ton per hektar! Jauh di atas pencapaian sebelumnya yang berkisar 5 ton-6 ton per hektar.
Pada musim kedua, dia menetapkan hati untuk menanami seluruh sawahnya seluas 0,5 hektar di Desa Cariumulya, Kecamatan Telagasari, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, dengan pola SRI. Hasil uji coba itu mempertegas keyakinannya yang masih samar ketika itu, bahwa panen di atas 10 ton per hektar bukan isapan jempol. Namun dia percaya, dengan doa dan usaha sungguh-sungguh, tidak ada yang tidak mungkin terjadi.
Dengan asumsi hasil 1,2 ton per 1.000 meter persegi, Akom membayangkan hasil panen dari sawahnya mencapai 6 ton pada musim kedua. Namun, kenyataannya lain. Hasil panen kedua dengan pola SRI hanya 3,75 ton atau 62,5 persen dari perkiraan Akom.
”Rupanya, tidak gampang berharap pada lahan yang telah lama ’sakit’ akibat pemakaian pupuk kimia bertahun-tahun. Tanah butuh perlakuan khusus agar pulih lagi,” kenangnya menyimpulkan hasil panen kedua.
Hasil 3,75 ton menjadi prestasi tersendiri bagi Akom. Hasil itu setidaknya lebih tinggi dari pencapaian sebelumnya sebesar 2,5 ton-3 ton. Akom pun terus mengasah kemampuannya untuk memacu produksi. Dia memanfaatkan penyuluh pertanian untuk bertanya, atau minimal menitipkan pertanyaan untuk disampaikan ke ahli, serta meminjam buku tentang pertanian.
Teladan
Pada musim tanam ketiga dengan pola SRI, Akom mendapat ”pengikut”. Mereka tak lain adalah petani tetangganya sendiri di Kampung Kedunggalih, Desa Cariumulya, yang menilai Akom sukses menerapkan SRI. Mereka tertarik mencoba sekaligus berharap hasil panennya meningkat dengan menerapkan cara-cara Akom.
Akom yang terus memperkaya diri dengan ilmu baru rupanya menjadi inspirasi. Padinya yang tampak lebih subur, lebih tinggi, serta memiliki rumpun dan malai lebih banyak membuat hati petani-petani sekitarnya kepincut. Mereka pun menimba ilmu dari Akom.
Hasilnya, sedikit demi sedikit, petani yang menerapkan SRI bertambah. Sawah yang digarap pun meluas menjadi 10 hektar, 20 hektar, 22 hektar, dan terakhir 30 hektar pada musim tanam rendeng 2009/2010 ini. Dari Akom yang seorang diri pada tahun 2006, kini ada 36 petani SRI di Kampung Kedunggalih.
Menurut Akom, pola budidaya SRI berdasarkan buku yang ia baca memiliki beberapa aturan. Ada tiga aturan yang menurut dia pokok, yakni menggunakan sedikit air, menanam bibit muda (umur 7-12 hari atau lebih muda daripada sistem biasa yang berusia 25-28 hari), tidak terlalu dalam menancapkan bibit ke tanah (sekitar 1 sentimeter), serta satu batang bibit untuk satu titik tanam (biasanya lebih dari satu). Semua itu memengaruhi pertumbuhan, perbanyakan rumpun, serta pengisian bulir padi.
Akom melengkapi pola SRI dengan sistem organik. Namun, dia tidak frontal dengan serta- merta meninggalkan pupuk kimia. Khawatir hasil panennya anjlok, Akom mengurangi dosis urea serta NPK dan mencampurnya dengan kompos. Kini petani Cariumulya umumnya menggunakan 1,5 kuintal campuran pupuk urea dan NPK per hektar, lebih kecil dibandingkan dengan sebelumnya yang mencapai 3 kuintal-4,5 kuintal per hektar, serta pupuk kandang dan kompos dari sisa tumbuhan.
Sadar bahwa jumlah ternak yang dapat dimanfaatkan kotorannya terbatas, Akom membentuk Kelompok Tani ”Dewi Sri”, juga berkonsultasi dan bermitra dengan petani-peternak lain. Kini ada sekitar 40 anggota aktif yang rutin berkumpul di ”markas besar” di belakang rumah Akom.
Mereka bertukar informasi di mana bisa mendapatkan kotoran ternak, jerami, dan bahan baku kompos lain di luar kampung. Sesama anggota kelompok juga berbagi mikroorganisme pengurai untuk membantu pembusukan bahan kompos, atau bertukar pendapat dan pengetahuan tentang aneka hal.
Atas keberhasilan itu, Akom diganjar pemerintah pusat dengan predikat Petani Teladan tahun 2009. Bersama dengan 32 petani lain dari seluruh Indonesia, Akom berkesempatan bersalaman dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan menerima sertifikat penghargaan di Istana Presiden, Jakarta, Agustus tahun lalu.
Kini Akom tidak hanya ditodong untuk ”berdakwah” soal SRI oleh anggotanya sendiri, tetapi juga oleh petani dari kecamatan lain, kabupaten lain, juga petugas penyuluh pertanian dan staf dinas pertanian.
Buku pinjaman
Akom tidak pernah menduga usahanya meminjam buku SRI ke seorang Pengamat Organisme Pengganggu Tanaman (POPT) Kecamatan Telagasari tahun 2006 akan berakhir seperti sekarang. Niat awalnya sebenarnya hanya ingin memupus rasa penasaran soal hasil panen yang tinggi.
”Di buku itu tertulis bahwa usaha SRI di Thailand bisa menghasilkan 14 ton per hektar, di Taiwan 18 ton per hektar, dan beberapa negara Asia lain hingga 12 ton per hektar. Awalnya seperti tidak mungkin, saya penasaran dan mencobanya, ternyata bisa meski belum optimal,” ujarnya.
Buku itu kemudian menjadi ”kitab” yang sering dia bolak-balik saat menemukan masalah di lapangan. Ibarat obat yang mujarab, buku itu lantas menjadi rebutan. Beberapa petani meminjamnya secara bergantian
Tidak hanya pada tanaman padi, Akom juga mengaplikasikan sistem organik pada komoditas lain yang dia tanam, seperti jambu biji, pisang, kacang panjang, dan labu. Komoditas nonpadi ini menjadi sumber penghasilan tambahan di luar padi yang rutin dia tanam dua kali setahun.
Akom memang tidak pernah berhenti mengeksplorasi ide. Dari hasil utak-atiknya, dia menciptakan teknologi tepat guna, emposan tikus elektrik! Alat pengembus asap (warga setempat menyebutnya emposan) belerang ciptaannya biasa dipakai untuk mengusir tikus dari lubang-lubangnya, bahkan telah dipamerkan saat kunjungan pejabat ke Karawang. Terakhir, Dinas Pertanian Karawang memesannya ratusan unit, belum termasuk pesanan petani dari luar Cariumulya.
Akom merasa usahanya belum seberapa. Dia masih menyimpan energi untuk mewujudkan ide-ide yang lain. Harapannya sederhana, menginspirasi petani di desanya agar peka perubahan, dengan terus belajar dan bergerak maju.
AKOM KARTIM
• Lahir: Karawang, 10 Mei 1964
• Pendidikan:
- SD Cariumulya (1976)
- SMP PGRI Telagasari (1979)
- SMA PGRI Karawang (1982)
• Istri: Iyat Nurhayati (35)
• Anak: Nur Aini (19), Muhidin (11)
• Prestasi: Petani Teladan Tingkat Nasional 2009
Pada musim kedua, dia menetapkan hati untuk menanami seluruh sawahnya seluas 0,5 hektar di Desa Cariumulya, Kecamatan Telagasari, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, dengan pola SRI. Hasil uji coba itu mempertegas keyakinannya yang masih samar ketika itu, bahwa panen di atas 10 ton per hektar bukan isapan jempol. Namun dia percaya, dengan doa dan usaha sungguh-sungguh, tidak ada yang tidak mungkin terjadi.
Dengan asumsi hasil 1,2 ton per 1.000 meter persegi, Akom membayangkan hasil panen dari sawahnya mencapai 6 ton pada musim kedua. Namun, kenyataannya lain. Hasil panen kedua dengan pola SRI hanya 3,75 ton atau 62,5 persen dari perkiraan Akom.
”Rupanya, tidak gampang berharap pada lahan yang telah lama ’sakit’ akibat pemakaian pupuk kimia bertahun-tahun. Tanah butuh perlakuan khusus agar pulih lagi,” kenangnya menyimpulkan hasil panen kedua.
Hasil 3,75 ton menjadi prestasi tersendiri bagi Akom. Hasil itu setidaknya lebih tinggi dari pencapaian sebelumnya sebesar 2,5 ton-3 ton. Akom pun terus mengasah kemampuannya untuk memacu produksi. Dia memanfaatkan penyuluh pertanian untuk bertanya, atau minimal menitipkan pertanyaan untuk disampaikan ke ahli, serta meminjam buku tentang pertanian.
Teladan
Pada musim tanam ketiga dengan pola SRI, Akom mendapat ”pengikut”. Mereka tak lain adalah petani tetangganya sendiri di Kampung Kedunggalih, Desa Cariumulya, yang menilai Akom sukses menerapkan SRI. Mereka tertarik mencoba sekaligus berharap hasil panennya meningkat dengan menerapkan cara-cara Akom.
Akom yang terus memperkaya diri dengan ilmu baru rupanya menjadi inspirasi. Padinya yang tampak lebih subur, lebih tinggi, serta memiliki rumpun dan malai lebih banyak membuat hati petani-petani sekitarnya kepincut. Mereka pun menimba ilmu dari Akom.
Hasilnya, sedikit demi sedikit, petani yang menerapkan SRI bertambah. Sawah yang digarap pun meluas menjadi 10 hektar, 20 hektar, 22 hektar, dan terakhir 30 hektar pada musim tanam rendeng 2009/2010 ini. Dari Akom yang seorang diri pada tahun 2006, kini ada 36 petani SRI di Kampung Kedunggalih.
Menurut Akom, pola budidaya SRI berdasarkan buku yang ia baca memiliki beberapa aturan. Ada tiga aturan yang menurut dia pokok, yakni menggunakan sedikit air, menanam bibit muda (umur 7-12 hari atau lebih muda daripada sistem biasa yang berusia 25-28 hari), tidak terlalu dalam menancapkan bibit ke tanah (sekitar 1 sentimeter), serta satu batang bibit untuk satu titik tanam (biasanya lebih dari satu). Semua itu memengaruhi pertumbuhan, perbanyakan rumpun, serta pengisian bulir padi.
Akom melengkapi pola SRI dengan sistem organik. Namun, dia tidak frontal dengan serta- merta meninggalkan pupuk kimia. Khawatir hasil panennya anjlok, Akom mengurangi dosis urea serta NPK dan mencampurnya dengan kompos. Kini petani Cariumulya umumnya menggunakan 1,5 kuintal campuran pupuk urea dan NPK per hektar, lebih kecil dibandingkan dengan sebelumnya yang mencapai 3 kuintal-4,5 kuintal per hektar, serta pupuk kandang dan kompos dari sisa tumbuhan.
Sadar bahwa jumlah ternak yang dapat dimanfaatkan kotorannya terbatas, Akom membentuk Kelompok Tani ”Dewi Sri”, juga berkonsultasi dan bermitra dengan petani-peternak lain. Kini ada sekitar 40 anggota aktif yang rutin berkumpul di ”markas besar” di belakang rumah Akom.
Mereka bertukar informasi di mana bisa mendapatkan kotoran ternak, jerami, dan bahan baku kompos lain di luar kampung. Sesama anggota kelompok juga berbagi mikroorganisme pengurai untuk membantu pembusukan bahan kompos, atau bertukar pendapat dan pengetahuan tentang aneka hal.
Atas keberhasilan itu, Akom diganjar pemerintah pusat dengan predikat Petani Teladan tahun 2009. Bersama dengan 32 petani lain dari seluruh Indonesia, Akom berkesempatan bersalaman dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan menerima sertifikat penghargaan di Istana Presiden, Jakarta, Agustus tahun lalu.
Kini Akom tidak hanya ditodong untuk ”berdakwah” soal SRI oleh anggotanya sendiri, tetapi juga oleh petani dari kecamatan lain, kabupaten lain, juga petugas penyuluh pertanian dan staf dinas pertanian.
Buku pinjaman
Akom tidak pernah menduga usahanya meminjam buku SRI ke seorang Pengamat Organisme Pengganggu Tanaman (POPT) Kecamatan Telagasari tahun 2006 akan berakhir seperti sekarang. Niat awalnya sebenarnya hanya ingin memupus rasa penasaran soal hasil panen yang tinggi.
”Di buku itu tertulis bahwa usaha SRI di Thailand bisa menghasilkan 14 ton per hektar, di Taiwan 18 ton per hektar, dan beberapa negara Asia lain hingga 12 ton per hektar. Awalnya seperti tidak mungkin, saya penasaran dan mencobanya, ternyata bisa meski belum optimal,” ujarnya.
Buku itu kemudian menjadi ”kitab” yang sering dia bolak-balik saat menemukan masalah di lapangan. Ibarat obat yang mujarab, buku itu lantas menjadi rebutan. Beberapa petani meminjamnya secara bergantian
Tidak hanya pada tanaman padi, Akom juga mengaplikasikan sistem organik pada komoditas lain yang dia tanam, seperti jambu biji, pisang, kacang panjang, dan labu. Komoditas nonpadi ini menjadi sumber penghasilan tambahan di luar padi yang rutin dia tanam dua kali setahun.
Akom memang tidak pernah berhenti mengeksplorasi ide. Dari hasil utak-atiknya, dia menciptakan teknologi tepat guna, emposan tikus elektrik! Alat pengembus asap (warga setempat menyebutnya emposan) belerang ciptaannya biasa dipakai untuk mengusir tikus dari lubang-lubangnya, bahkan telah dipamerkan saat kunjungan pejabat ke Karawang. Terakhir, Dinas Pertanian Karawang memesannya ratusan unit, belum termasuk pesanan petani dari luar Cariumulya.
Akom merasa usahanya belum seberapa. Dia masih menyimpan energi untuk mewujudkan ide-ide yang lain. Harapannya sederhana, menginspirasi petani di desanya agar peka perubahan, dengan terus belajar dan bergerak maju.
AKOM KARTIM
Sumber : Mukhamad Kurniawan
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/03/03/05094970/akom.inspirasi.petani.otodidak
Rabu, 3 Maret 2010 | 05:09 WIB
Rabu, 3 Maret 2010 | 05:09 WIB
Langganan:
Postingan (Atom)