09 Desember 2014

Teknologi Tata Air di Lahan Gambut Untuk Budidaya Pertanian

*Oleh: Ir. Lindung, MP
Pendahuluan

Pengelolaan lahan gambut harus dilakukan secara hati-hati dan terencana dengan baik, agar tidak terjadi kerusakan, karena pemulihan lahan gambut yang rusak membutuhkan waktu yang lama.
Pengelolaan lahan rawa gambut untuk pertanian hendaknya diutakan pada areal lahan gambut yang telah mengalami kerusakan, namun memiliki potensi pemanfaatan yang tinggi dengan batas kedalaman tidak lebih dari satu meter. Kegiatan pertanian dengan membuka lahan baru, apalagi yang masih berhutan harus dihindari.

Pengelolaan air merupakan kunci keberhasilan dalam budidaya pertanian di lahan rawa pasang surut/gambut. Pemanfaatan gerakan pasang dan surut untuk pengairan dan pengatusan (irigasi dan drainase) terhadap lahan sudah dikenal seiring dengan dibukanya rawa yang oleh petani dengan membuat saluran-saluran masuk menjorok dari pinggir sungai ke arah pedalaman yang disebut dengan parit kongsi (handil, bahasa kalimantan).

Dorongan pasang dimanfaatkan untuk memasukan air sepanjang handil dan petakan sawah. Pasang tunggal (purnama) yang merupakan puncak pasang dapat meluapi lahan untuk wilayah tipe luapan A dan B. Lama genangan hanya 4-5 jam dengan selang waktu seiring dengan posisi peredaran bulan. Sistem pengairan dan pengatusan yang diterapkan petani yang memanfaatkan hanya satu saluran handil (tersier) untuk masuk dan keluarnya air disebut aliran dua arah (two follow system).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pola aliran satu arah (one follow system), yaitu dengan menentukan secara terpisah antara saluran masuk dan keluar dengan memasang pintu air (flapgate) pada masing-masing muara saluran sehingga terjadi aliran searah diperoleh hasil padi lebih tinggi dibandingkan dengan aliran dua arah. Pengaruh pengaturan air pada skala mikro (tersier) ini pada dasarnya dipengaruhi oleh kondisi pengaturan air pada skala makro. Dengan kata lain, kualitas air yang masuk ke saluran tersier atau petakan sawah tergantung pada kualiats air pada saluran sekunder.
Pada lahan luapan C, maka pengelolaan air diarahkan pada konservasi air di musim kemarau dengan sistem tabat (dam overflow/stoplog), yaitu menahan air sehingga kecukupan air dapat dipenuhi saat musim kemarau dengan menutup tabat menjelang musim kemarau atau akhir musim hujan.

Lahan Pasang Surut dan Sumber Air di Lahan Gambut 
Berdasarkan hidrotopografi wilayahnya sebagai cerminan dari pengaruh luapan pasang sungai/laut, maka wilayah pasang surut dibagi dalam empat tipe luapan, yaitu tipe A, B, C, dan D. (Noorsyamsi dan Hidayat, 1976: Widjaya Adhi, 1986; Kselik, 1990).

Kementerian Pekerjaan Umum menggunakan istilah lahan katogori I untuk tipe A, selanjutnya kategori II, III dan IV untuk tipe B, C dan D. Batasan yang dimaksudkan dengan tipe luapan A, B, C dan D adalah sebagai berikut :
Tipe A: wilayah pasang surut yang selalu mendapat luapan pasang baik pasang tunggal (purnama) maupun pasang ganda (perbani) serta mengalami pengatusan secara harian. Wilayah tipe luapan ini meliputi pesisir pantai dan sepanjang tepian sungai.
Tipe B: wilayah pasang surut yang mendapat luapan hanya saat pasang tunggal (purnama), tetapi mengalami pengatusan secara harian. Wilayah tipe luapan ini meliputi wilayah ke pedalaman sejauh < 50-100 km dari tepian sungai.
Tipe C: wilayah pasang surut yang tidak mendapat luapan pasang dan mengalami pengatusan secara permanen. Pengaruh ayunan pasang diperoleh hanya melalui resapan (seepage) dan mempunyai muka air tanah pada jeluk < 50 cm dari permukaan tanah.
Tipe D: wilayah pasang surut yang tidak mendapat pengaruh ayunan pasang samasekali dan mengalami pengatusan secara terbatas. Muka air tanah mencapai jeluk > 50 cm dari permukaan tanah.

Lahan gambut adalah salah satu jenis lahan rawa, dimana keberadaan air sangat dipengaruhi oleh hujan dan pasang surut (luapan) air sungai. Perilaku keduanya akan berpengaruh terhadap tinggi dan lamanya genangan air di lahan gambut dan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap tingkat kesuburan lahan sera pola budidaya yang akan diterapkan di lahan tersebut. Lahan gambut yang sering menerima luapan air sungaisemata-mata hanya menerima curahan air hujan.

Teknologi Pengelolaan Air Di Lahan Gambut 
Pengelolaan air dilahan gambut bertujuan mengatur pemanfaatan sumber daya air secara kontinyu sehingga didapatkan produktivitas lahan yang optimal, dan mempertahankan kelestarian lahan tersebut. Ciri khas teknologi pengelolaan air di lahan gambut adalah pembuatan parit (saluran), dimana tujuannya adalah:
- Mengendalikan air tanah untuk keperluan budidaya. Artinya gambut tidak kering di musim kemarau, dan tidak tergenang di musim hujan. Keadaan tersebut dicapai melalui upaya membuat pintu air (flapgate) yang dapat mengatur tinggi permukaan air tanah gambut sekaligus menahan air keluar dari lahan.
- Memanfaatkan keberadaan air disaluran seagai media budidaya ikan.
- Mencuci asam organik dan asam anorganik serta senyawa lain bersifat racun terhadap tanaman, dan suplai air segar untuk memberikan oksigen
- Air di parit dapat berfungsi sebagai sekat untuk mencegah terjadinya kebakaran yang meluas
- Sebagai transportasi sarana produksi dan hasil panen.

Teknologi pengelolaan air di lahan rawa (temasuk lahan gambut) adalah:- Sistem parit/handil tepi sungai
- Sistem saluran model garpu di lahan pasang surut

1. Sistem parit/handila. Ketentuan umum
- Parit dibuat dari pinggir sungai yang mengarah tegak lurus ke arah daratan (Gambar 1)
- Di kiri dan kanan parit dibuat pematang-pematang, yang biasanya digunakan juga sebagai jalan sekaligus sebagai tanda batas kepemilikan lahan.
- Parit dapat dipandang sebagai saluran sekunder, bila sungai dipandang sebagai saluran primer.
- Parit dibuat secara bertahap dan diselaraskan dengan kondisi perubahan lahan, pengaruh pasang surut (kedalaman permukaan air) dan, ketebalan gambut.
- Penerapan sistem parit, diawali dengan pembukaan lahan dengan merintis dan menebang pohon-pohon besar.
- Pekerjaan ini dimulai dari tepi sungai tegak lurus ke arah pedalaman.

b. Ciri sistem parit
 - Lahan usahatani umumnya berjarak 0,5 – 5 km dari tepi sungai ke arah pedalaman, atau sampai ke ketebalam gambut maksimum 1 meter.
- Di bagian tepi sungai dibuat pematang, karebna sudah ada tanggul sungai yang terbentuk secara alami, sehingga bila sungai pasang atau banjir, luapan air akan tertahan dan genangan pada lahan usaha yang ditimbulkan terbatas.
- Parit dibuat dengan fungsi ganda, yaitu sebagai saluran drainase (pembuangan) apabila air surut, dan sebagai saluran irigasi (memasukkan; mengairi) apabila air pasang. Aliran air dalam parit adalah bolak balik atau dua arah.
- Untuk mempertahankan keberadaan air di petakan lahan, maka pada parit dipasang tabat untuk mencegah keluarnya air sewaktu surut, tetapi sewaktu pasang, air dapat leluasa masuk dalam petakan.
- Untuk mencegah agar parit tidak tersumbat oleh endapan lumpur, maka diperlukan pekerjaan pembuangan/pengangkatan lumpur sebulan sekali.
- Lebar parit berukuran 5 meter dan semakin menyempit ke arah hulu parit.
- Pada kanan dan kiri parit dibuat pematang/tanggul untuk ditanami tanaman penguat (pohon buah-buahan) agar tanggul tidak longsor. Di atas pematang ini juga dapat dibuat ponsok.
- Pada setiap 500 meter dibuat parit cacing yang berfungsi untuk memasukkan dan mengeluaran air pada petakan pertanaman. Parit ini berukuran lebar dan dalam 1 meter.

2. Sistem saluran garpu
- Pengatuan tata air dengan sistem garpu (Gambar 2) dikembangkan oleh Universitas Gajah Mada (UGM) pada lahan pasang surut, yaitu lahan-lahan yang terletak di dataran pantai atau dataran dekat sungai; baik terpengaruh langsung maupun tidak langsung oleh pasang surut.
- Untuk mengatur air pasang surut, maka dibuat pintu-pintu air yang dikenal dengan flapgate yaitu pintu otomatis yang ketika air pasang, air akan mendorong pintu sehingga air dapat masuk ke dalam parit-parit petakan lahan. Sewaktu air surut, air akan tertahan di dalam parit-parit petakan lahan.
- Struktur tinggi/operasional pintu-pintu air tersebut disesuaikan dengan penggunaan lahannya, apakah untuk sawa, surjan, atau lahan kering.
- Kelemahan sistem garpu:
- Biaya pembuatannya mahal karena dirancang untuk areal pertanian yang luas dan menggunakan alat-alat berat.
- Lumpur yang mengendap dalam ruas-ruas saluran harus sering-sering diangkat agar tidak terjadi pendangkalan, ini akan mempersulit proses pergantian air segar. Jika pada saluran terdapat pirit yang telah teroksidasi dan tidak tercuci keluar, maka senyawa kuat yang terbentuk akan membahayakan tanaman di atasnya.

- Mengatasi kelemahan sistem garpu adalah adanya pembuatan saluran yang terpisah antara saluran irigasi (pemasukan air/inlet) dan saluran drainase (pengeluaran air/outlet), atau dikenal sebagai Sistem Aliran Satu Arah.
- Sistem aliran satu arah
- Pada sistem ini (Gambar 3), setidaknya memerlukan 2 buah saluran tersier, yang sau berfungsi sebagai saluran irigasi (inlet) dan yang satu lagi sebagai saluran drainase (outlet).

- Kedua saluran tersier ini harus dilengkapi dengan pintu air otomatis (flapgate) yang dapat membuka dan menutup denga tenaga arus air. Saluran irigasi akan membuka ketika air pasang, dan akan menutup ketika air surut
- Kondisi demikian diciptakan dengan meletakkan posisi pintu yang berlawanan arah (Gambar 4).
- Tinggi rendahnya permukaan air dalam saluran diatur dengan mengatur pintu outlet (drainase).
- Keuntungan sistem ini adalah terjadinya pergantian air segar di dalam saluran secara lebih lancar, potensi endapan lumpur di dalam saluran kuarter lebih kecl karena tercuci lebih mudah, serta penumpukan senyawa beracun dan air asam akan dapat dihindari.

DAFTAR PUSTAKA

Andriesse, J.P. 1988. Nature and Management of Tropical Peat Soils. FAO. Soil Bull. 59. Rome. 165 p.
Balittra. 2001. 40 Tahun Balittra 1961-2001: Perkembangan dan Program Penelitian ke Depan. Balitrtra. Banjarbaru. 84 hlm.
Beek, K.J., Blokhois, W.A., Driessen, P.M., Breemen, N. V. dan Pons, L.J. 1980. Problem Soils: Reclamatiuon and management. In Land Reclmation and Water Management. ILRI Publ. 27. Wageningen. The Netherland. P. 43-72.
Ismail Inu G., Trip Alihamsyah., IPG Wijaya Adhi., Suwarno., tati Herawati., Ridwan Thahir., D.E. Sianturi. 1993. Sewindu Penelitian Pertanian Di Lahan Sawah 1985-1993. Proyek Penelitian Pertanian Pasang Surut dan Rawa – SWAMP II. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Kasdi S., H. Suwardjo dan IPG Wijaya Adhi. 1994. Reklamasi Lahan Pasang Surut Bertanah Sulfat Masam di Kalimantan: Tinjauan Hasil Penelitian dan Pengembangan di Lahan Petani dalam Prosiding Temu Konsultasi Sumberdaya Lahan Untuk Pembangunan Wilayah Kalimantan. Palangkaraya 5-6 Oktober 1993. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.
Kosman, E. dan Jumberi, A. 1996. Tampilan potensi usahatani di lahan rawa lebak. Dalam B. Prayudi et al. (eds). Pros. Seminar Teknologi Sistem Usahatani Lahan Rawa dan Lahan Kering. Buku I. Balittra. Banjarbaru. Hlm : 75-90.
Noor, M. 2004. Lahan Rawa: Sifat dan Pengelolaan Tanah Bermasalah Sulfat Masam. Rajawali Pers. Jakarta. 241 hlm.
Noorsyamsi, H. dan Hidayat, M. 1976. The tidal swamp rice culture in South Kalimantan. Contr. Centr. Res. Inst. Agric. Bogor 10:1-18.
Pons, L. J., Breemen, N. V., and P.M. Driessen. 1986. Physiography of coastal sediment and development of potential soil acidity. In Acid Sulphate Weathering. SSSA Special Publ. No. 10. Madison. Wisconsin. USA. p. 1-18.
Samingan, M.T. 1979. Beberapa catatan tentang vegetasi di daerah pasang surut Sumatera Selatan. Dalam Pros. Symp. Nasional III Pengembangan Daerah pasang surut di Indonesia. Buku III. Palembang, 5-9 Pebruari 1979. Dep. P.U – IPB. Bogor.
Widjaja Adhi, I.P.G. 1986. Pengelolaan lahan rawa pasang surut dan lebak. J. Litbang Pertanian 5. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.

Jambi, 25 April 2014.  

*Penulis Adalah Widyaiswara Balai Pelatihan Pertanian Jambi-Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian-Kementerian Pertanian RI
Tulisan ini sudah pernah dipubilkasikan di website Balai Pelatihan Pertanian Jambi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar